Fase Take Down

Feelings are Temporary — Ada kalanya aku sebagai manusia juga mengalami fase keminderan dan capek dengan duniaku yang gitu-gitu aja. Aku menyebutnya sebagai fase take down.

Kawan, kamu pasti pernah juga mengalami fase ini, bukan? Atau saat ini justru menjadi fase take down itu? Yuk, kita istirahat dan refleksi sebentar.

Aku menyebutnya fase take down karena di fase ini rasanya energi dan jiwaku sempat sebagiannya terambil alih oleh sisi duniawi.

Lihat postingan kawan lain yang tiba-tiba udah merantau lebih jauh dari tanahnya, yang kelihatan cerita hidupnya menyenangkan. Itu menghibur, tapi bikin capek.

Denger cerita ibu tentang kabar kawan seusiaku yang ternyata sudah sukses menembus karir pertamanya di luar kota. Itu menginspirasi, tapi bikin capek.

Melihat seorang kawan yang akhirnya lolos sebuah beasiswa yang sangat aku idamkan, menimbulkan percikan "andaikan" aku yang mendapatkannya akan terasa menyenangkan berada di posisi itu. 

Tapi, lagi-lagi itu hanya bikin capek.

source by pinterest  

Senang dikata senang melihat kawan lain menjadi sukses dan akhirnya mencapai apa yang mereka doakan serta usahakan tersebut, bukan?

Tapi gak sadar terbiasa untuk aku (dan kamu) ikut melakukan perbandingan atas doa dan usaha kita saat ini. Itulah pematik rasa capek kita, kawan.

Padahal apa yang baik aku maupun kamu lihat seringnya adalah bagian senang dari kawan lain saja.

Yaa, mereka memang gak ekspos semua bentuk usaha dan cara mereka berdoa. 

Terus apa yang aku lakukan untuk menjaga energi mudaku ini?

Yang kata orang soal energi anak muda saat ini, 

“Gen Z itu tipikal yang dikit-dikit ngeluh soal social battery dan kesehatan mental. Pantes dianggep jompo sebelum waktunya”.

Hahaha sejujurnya aku sendiri merasa kaget dengan pernyataan dari disebuah podcast yang aku dengarkan di suatu sore. Dimana yang ngomong adalah seorang aktor sukses Indonesia. 

Ternyata generasiku adalah generasi yang banyak “sambatnya” daripada “actionnya”. Cukup malu mendengarnya dari senior sendiri :))

Kembali ke topik, terlepas dari banyaknya ke-sambat-an soal fase take down yang sering kita alami, kawan. 

Kita harus tau juga bagaimana cara mengelola energi itu agar tidak mudah di take down sama hal-hal duniawi.

JOYMO for Better Life

Gak semua-muanya harus kita ketahui kok. Mengelola emosi paling dasar salah satunya adalah menahan rasa ingin tau yang berlebih.

"Cukup tau aja" bikin kamu lebih enjoy. Kalau FOMO udah berlaku dimana-mana, coba deh bikin diri kamu lebih autentik dengan JOYMO (enJOY of Missing Out).

Jadi, misalkan kamu tau ada kawan kamu yang update story Instagram lagi momen serunya jalan-jalan di Jogja. 

Dimana ternyata kamu sebenernya pengen banget ke Jogja tapi karena masih sibuk atau lain hal belum terwujudkan pergi kesana. 

Kesel dan badmood pasti adalah sisi lain kamu selain menikmati keindahan story kawan yang lagi di Jogja itu. 

And it’s enough. Cukup stalking hal lainnya di akun tersebut, itu waktunya kamu untuk beralih dari dunia sosmed. Selanjutnya sadari aja waktu serta keberadaanmu di saat ini.

Kawan, kita semua berada di garis waktu yang tepat. Semua orang berada di garis waktunya masing-masing.

Jalan-Jalan yang Beneran Jalan

Kalau badan udah capek dan maunya digerakin, please ikutin aja sinyal tubuhmu itu. Ini salah satu bahasa tubuh kita ketika sedang stress. 

Gak ada salahnya hanya sekedar jalan kaki keliling rumah, atau buat kamu yang masih sering naik motor kalau cuma ke warung deket rumah. 

Coba deh, sesekali jalan kaki aja dan nikmatin "slow moment" kamu, kawan. 

Perlu sesekali untuk kita mencoba perlahan dalam melihat dunia sekitar. Lihat detailnya.

Manjain telapak kaki itu gampang, bonusnya jiwa juga ikutan termanjakan, kawan. Main-main gak pake alas kaki di tanah atau rumput aja kok. We call it, grounding~

Mendekatkan diri dengan alam bisa menguraikan pelan-pelan benang keruwetan dalam jiwa kamu. 

Siapa tau kan ya, bisa jadi Moana in real life ^^ kalau Moana punya samudra yang bisa mengikutinya, kamu punya angin darat yang bisa temenin kamu. 

Menulis

Sederhana aja, kawan. Kalau kepala dan hati udah penuh, jangan semakin ditutupin plester. Justru, buat aliran dengan membiarkan retakan yang timbul karena overload terbuka.

Maksudnya membuat aliran melalui tulisan sebagai bentuk otak kedua kamu, kawan. 

Gak sedikit jurnal penelitian soal menulis sebagai terapi emosional. Pun kalau dijadikan kebiasaan ini akan mempermudah awak diri kita mencapai kesadaran emosional. 

Seorang yang aku kenal pernah bercerita, kalau semasa mudanya sempat diliputi keresahan akan masa depannya. Dimana beliau hanyalah lulusan SMA.

Kawan, sejak SMA pula beliau menuliskan segala bentuk pikirannya. Keresahan, harapan, dan optimisme beliau. Sampai hari ini hanya dengan ijazah SMA beliau adalah pemiliki sebuah pabrik.

Yaa pabrik itu adalah bonus ya, kawan. 

Siapa tau dari pereda fase take down, mungkin menulis bisa menjadi kebiasaan yang menjembatani ke masa depan yang kita inginkan ;) aka manifesting.

Kawan, secara praktik memang susah susah gampang ya buat kita bikin semuanya bisa dinikmati. Setidaknya mari tetap mengusahakan kebahagiaan diri sendiri dulu, okey?!

Jadi, gimana cara kamu sendiri hadapin "fase take down" kawan? 

Cheers! <3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membentuk Karakter Bela Negara

New Year Letter

Waiting The Petrichor Chapter III : Their Sparkling Yesterday is About Their Love Today