Waiting The Petrichor Chapter II : We Need Them

Tokoh Objektif — Kawan, siapa yang gak pernah curhat? Pastinya kita semua pernah, i bet it. 

Entah itu ke kawan lainnya, ke Tuhan, atau bahkan ke buku diary (seperti tulisanku disini hehe). Melegakan pasti, walaupun belum menyelesaikan gundah gulana hati dan pikiran kita. 

Ada satu momen, saat aku sedang "sambat" tentang satu keadaan yang membuatku bimbang dan sedih kepada beberapa kawan. 

Lalu beberapa dari mereka mengiyakan kesedihan yang aku rasakan. Bahkan mereka hampir terbawa vibe sedih yang secara gak langsung aku bawa. 

Aku menghargai bentuk empati itu. Tapi, bukan keadaan menyedihkan yang ingin aku ciptakan.

Dan seketika, seorang kawan membuat sambaran kilat dengan kata-katanya yang menyadarkan kami semua. 

Dia bersikap menengahi perasaan sedih yang sedang terjadi saat itu dengan pandangan dia yang lebih optimis. 

Seperti, "kalo ada kawan kamu yang begini, terus kamu ikut-ikutan karena kawanmu. Kata bapakku itu bodoh".

Mungkin bagi beberapa kawanku itu, huu pedes ya. Tapi di saat itu juga, justru aku langsung meyakini "aku butuh orang seperti dia".

Kawan, pasti kamu punya kawan yang seperti kawanku satu ini, pedes. Atau malah dia adalah kamu? Hahaha congratulation!

Artinya kamu telah menemukan tokoh objektif dalam panggung perjalanan hidupmu. 

Tokoh objektif berperan sebagai sudut pandang orang ketiga dalam ceritamu. Dia yang bisa memberikan penilaian tanpa memihak siapapun. 

Kerennya, mereka adalah tipikal orang yang gak akan memberi makan egomu saja, kawan. 

Misalkan momen disaat aku bercerita dengan adik sepupuku. Perkara hati manusia yang sedang dimabuk asmara hahaha 

Siapa yang gak pernah jatuh cinta? Ini normal juga terjadi padaku kan? haha

Aku bercerita kegelisahanku terhadap dua orang berbeda yang perasaannya berbeda pula untuk hatiku. 

Okey, adik sepupuku yang kenyataannya memang lebih tua daripada aku, mengambil panggungnya sebagai tokoh objektif. 

Dia sangat bisa langsung menyuruhku untuk memilih satu dari mereka, dan selesai. Tapi gak!

Dia memberikan pov dia terhadap masing-masingnya dengan jelas dan tegas, kalau keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Adikku objektif dalam menanggapi ceritaku. Dan benar saja, itu sakit untuk di dengar. 

Karena egoku tidak terpuaskan atau diberi celah untuk menikmati sebuah hidangan ((penilaian subjektif untuk mevalidasi perasaan terbesar yang sedang aku rasakan saat itu)).

Tapi heii, aku menemukan sudut pandang baru yang justru membuatku terbuka.

Jadi aku bisa memproses lebih detail perasaan dan pikiranku agar sinkron. Dan gak tergesa-gesa membuat simpulan.


embrace their discomfort


Seperti itulah peran "tokoh objektif" yang harus kita temui dalam perjalanan hidup ini. 

Walau sakit seringnya untuk mendapat tanggapan atau respon dari mereka, tapi percayalah, kawan. We need them.

Kita gak harus melulu, kok, untuk mencari atau bercerita kepada si tokoh objektif. Karena keadaan subjektif dan objektif juga harus seimbang.

Sebagai manusia kita memang gak lepas dari ego, itu sudah paketan dari kita diciptakan. Karena kita punya nafsu (bukan malaikat ya). 

Jadi, sesekali pergi memuaskan ego kepada "tokoh subjektif" juga menyeimbangkan diri kita, kawan. 

Aku berkawan dengan seseorang yang bisa menjadi kedua tokoh tersebut sekaligus (si subjektif dan si objektif) dalam cerita-ceritaku. 

Dan dia sering melukaiku tapi sekaligus menyembuhkanku hahaha~ memang unik berkawan dengan dia.

Yap, kamu pasti memiliki atau akan segera menemukannya, kawan. Karena tokoh ini, akan sangat memberi banyak benefit dalam perjalananmu.  

Kawan, semua yang aku bagikan merupakan pov dariku. Tentu aku merefleksikan ini tidak instan, dan sampai hari ini aku masih belajar darimanapun dan apapun. 

You can go with it or not, but I'm glad to know if you want sharing to me about it. Cheers! <3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membentuk Karakter Bela Negara

New Year Letter

Waiting The Petrichor Chapter III : Their Sparkling Yesterday is About Their Love Today