Waiting The Petrichor Chapter I : Human being Human

Hai, kawan. Di tulisan ini, aku mau berbagi journey dalam menanti si petrichor. 

I might like to call it my resume, karena ada banyak sekali cerita yang bisa dibagikan selama aku belum menghirup petrichor untuk pertama kalinya dari yang terakhir dulu. 

8 Juni 2024, pertama kalinya dengan sopan petrichor hadir lagi di malam hari saat aku sedang membuat catatan kecil untuk tulisan-tulisan ini, kebetulan sekali. 

Dan iya benar, tulisan-tulisan ini tidak hanya ada satu chapter, tapi ada beberapa chapter yang akan dihidangkan untuk kawan-kawan nikmati. 

So here we go again! ((hahaha like the liryc from my pretty boy song, ardhito~))

Right People just Right PeopleKalau tidak diciptakan dan sengaja dilahirkan sebagai seorang manusia, kita gak akan bisa menikmati ego atas akal manusia kita. 

Lezat bukan? Bisa merasakan berbagai emosional dari yang bisa kita pahami sendiri sampai gak bisa kita pahami dan bilang ...

"kenapa dan bagaimana bisa aku merasakan ini?!"

Sokeyy buddy. You've doing great till today, karena bisa sampai baca ini. 

Manusia pada ujungnya hanya disuruh ibadah atas dirinya sendiri. Jadi, dengan kata lain, kita dihidupkan untuk diri kita sendiri. 

Walaupun menebar kasih dengan sesama juga diperintahkan biar kita punya teman berjuang bersama di dunia ini. Jadi, banyak temen juga gak salah, pun sendirian juga gak salah.

Aku yakin, ga jarang dari kawan saat dihadapkan dalam relation (love or friendship) pernah mikir gini 

"orang yang tepat di waktu yang salah, atau orang yang salah di waktu yang tepat".  Klise, tapi perlu digeser pov-nya.

Pernah aku mendapat sign yang dilewatin di reels instagram, kalau Tuhan itu gak pernah mempertemukan kita dengan orang yang salah maupun waktu yang salah. 

Semua orang dan kondisi yang bertemu dengan kita adalah yang "tepat".

Ini bukan toxic positivity atau menormalisasikan berbagai hari kurang menyenangkan atau ketidak nyamanan yang pernah kita terima di hari-hari lalu dari seseorang. 

Aku pikir ini adalah cara kita untuk meringankan peran kita sebagai manusia, sebagai seorang individu, dan seorang yang bersosialisasi. 

Setiap orang memberikan pelajaran. Dan pelajaran terbaik justru seringnya beerasal dari villain atau mereka yang pernah terluka (kerennya disebut sad people). 

Itu mengapa mereka hadir di perjalanan hidup kita, berpapasan atau menetap dalam cerita hidup kita. Untuk memberikan pelajaran bahwa hidup tidaklah se-flat itu. 

Kamu harus jadi licik, jenius, pun menjadi polos diperlukan di beberapa waktu. 

"Tapi tetap saja orang-orang itu salah/waktunya tidak tepat karena tidak sesuai dengan karakterku."

Sokey, berarti itu narasi hidup yang ingin kamu pilih dan letakkan di dalam harimu. 

Padahal kita sebagai tokoh utama kehidupan, manusia bisa membuat narasi yang lebih bijak dan positif atas apa yang telah dilalui, walaupun itu memalukan, menyedihkan, dan atau membuat kita down secara fisik maupun mental.


create a narrative


Misalkan tadi sore, aku pergi ke warung nasi padang yang belum pernah aku masuki sebelumnya. Pertama kali banget pesan nasi padang disana. 

Karena ada dua etalase di satu tempat yang posisinya depan belakang dan sama-sama bertuliskan nasi padang, aku pikir dua-duanya ya sama jual nasi padang. 

Ada antrian panjang di etalase yang belakang daripada etalase depan yang hanya ada satu perempuan, aku pilih mengantri di etalase depan. 

Setelah giliranku aku langsung pesan saja mau lauk apa, terus bapaknya nanya balik aku mau nasi padang atau nasi campur? 

Tentunya ya nasi padang aku jawab. Ternyata aku salah etalase, kalau mau nasi padang di etalase belakang bukan yang depan. Oke, satu momen yang harusnya aku bisa aja malu.

Aku pindah etalase dan langsung dilayani oleh masnya, tapi masnya bingung dan sempet nertawain aku yang pesen lauk dendeng. Ternyata gak ada dendeng, adanya rendang. 

Sebenarnya aku memang mau rendang dipikiran, tapi karena kondisiku emang kurang enak badan udah lemes, otak dan mulutku gak sinkron. Oke, momen kedua yang harusnya aku bisa malu.

Saat bayar di kasir pun begitu. Saat ditanya nasi apa dengan lauk apa yang aku beli, aku jawab lagi lauk dendeng. Masnya bingung lagi, aku ikut loading sebentar hahaha ^^

Sampai baru paham, harusnya aku ngomong rendang. Maklum laper belum makan. Oke, momen ketiga yang harusnya aku bisa malu lagi.

Dari serangkaian kejadian di satu tempat tadi bisa banget bikin aku malu dan act fooling, kawan. But I don't. Karena di momen itu juga, aku set pikiran dan emosiku untuk membuat narasi 

"oh jadi gini ya kalau pesen nasi padang disini, dan ternyata dendeng itu irisan daging sapi yang lebih tipis daripada rendang kata masnya tadi, oke ini pelajaran baru buat aku". 

Satu momen lagi, aku pernah berkenalan dengan seorang kawan yang ternyata ada perbedaan mencolok diantara kita. 

Sehingga pada akhirnya membuatku memilih untuk menenangkan diri dan tidak berkomunikasi dengannya sementara waktu, karena berkomunikasi dengannya membuatku sakit hati. 

Aku bisa sekali menganggap dia orang salah daripada aku karena perbedaan kita. But I don't want. Karena narasi yang aku pilih setelahnya adalah aku jadi belajar dan mengenal karakter baru atas manusia lainnya. 

Dan menjadi sensitif itu normal, namun terlalu menormalisasi kesensitifan sehingga membuat blok dengan manusia lainnya menurutku itu destroying yourself.

Jadi, buat narasi harimu lebih mudah ya, kawan. 

Kamu gak pernah memiliki hari yang buruk, hanya hari yang melelahkan. 

Dan kamu gak pernah bertemu dengan orang yang salah, hanya cara dia membawa diri berbeda dengan caramu membawa dirimu sendiri.

Kawan, semua yang aku bagikan merupakan pov dariku. Tentu aku merefleksikan ini tidak instan, dan sampai hari ini aku masih belajar darimanapun dan apapun. 

You can go with it or not, but I'm glad to know if you want sharing to me about it. Cheers! <3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membentuk Karakter Bela Negara

New Year Letter

Waiting The Petrichor Chapter III : Their Sparkling Yesterday is About Their Love Today