Cerita Pendek - Suara Langit
Sudah 5 kali sehari ini aku menangis, 2 kali minum segelas air, 3 kali berjalan keluar rumah, 6 kali makan sepiring nasi, 4 kali muntah, dan 8 kali absen dalam bulan ini. Aku merasa harus memotong segala sesuatunya dengan tepat agar aku dapat kembali. Dalam kerapatan waktu di dunia ini, aku masih saja sempat khilaf, salah satu waktu itu adalah saat ini. Menuntut langit dengan segala kesedihan dan kemarahan.
Kenapa aku tidak kau beri satu hari cerah saja? Kalaupun sudah kau beri namun mengapa justru aku kau beri hati yang kelam? Bukankah aku sudah cukup untuk hanya berkeluh kepadamu?
Begitulah setidaknya ketika aku menjadi gila dengan waktu. Tidak luput kata ‘mengapa’. Dan hebatnya aku tetap dapat menghitung fungsi kerapatan probabilitas setelahnya. Kata ibuku seraya menaruh sepiring kue hangat di mejaku, “jangan edan, terus hidup.”
Aku rasa langit memang memiliki rahasia khusus dalam gelombang kehidupan agar tidak tampak membosankan. Dan tentunya agar kami yang dibawahnya tetap berjalan untuk hidup. Kalau diceritakan akan banyak tulisan tentang pengaruh ke-edan-an langit di dunia.
Sejujurnya aku merasa kesulitan dalam menulis dengan kejujuran, pun saat ini. Seperti kutipan awal dalam novel Kaze No Uta O Kite, karya Haruki Murakami yang kubaca versi terjemahannya. Kalau tidak salah begini bunyinya.
“Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna”
Walau mengakui kebenaran kutipan itu, namun aku tetap berusaha menjadi salah satu manusia yang pura-pura tegar. Karena sejatinya, kita semua tidak ada yang benar-benar tegar. Bedanya hanya di seberapa jauh level per-aktingan kita masing-masing.
Hari ini aku memasuki ruang kehidupanku seperti biasanya. Bertemu banyak orang lagi, bukan hal yang sulit sekali hingga nantinya bel sekolah berbunyi nyaring di sore hari. Dan hari ini tidak lebih dari biasanya.
Aku menunggu Lui seperti biasa sepulang sekolah. Di depan perpustakaan yang basah lantainya usai diciprati air hujan sore. Sangat menghormati petugas perpustakaan ini yang masih sempat merawat pot-pot kembang di teras perpustakaan, ditengah sibuknya merawat debu pada buku-buku koleksi. Membantu memberi nuansa asri di depannya.
Lui datang dengan sedikit berlari ke arahku, kacamatanya dihiasi tempias air sisa gerimis. Masuk ke perpustakaan sore hari adalah hal menyegarkan bagi kami berdua. Dari 1 hingga 2 buku yang kami pinjam, membuat kami selalu bersemangat dan menerka-nerka. Sinyal apa yang akan diberikan langit lagi kepada kami melalui buku ini. Karena kami berdua percaya, setiap yang terpilih oleh tangan ini adalah sinyal untuk meneruskan atau menghentikan langkah.
Rutinitas kami selanjutnya, berjalan ke stasiun untuk pulang. Hanya begitu selalu bila kami bersama di jam pulang sekolah.
“Apa kau mecintai kehidupan ini?” tanya Lui saat di dalam kereta.
“ Terkadang.”
Dia mendengus kesal, lalu bersandar ke belakang. Hanya ada kami berdua di dalam kereta.
“ Aku rasa naif sekali kalau kita mencintai kehidupan ini. Tapi, memang nyatanya kita dipaksa untuk meyakini rasa itu.”
“Untuk tetap hidup.”
Aku mengangguk membenarkan jawabannya yang selama ini memang aku yakini demikian adanya.
“Kau tau? Aku kerap sekali berdoa untuk hari yang baik kepada langit. Dan langit sebenarnya selalu menjawab,”
Lui mendengarkan hingga kepalanya sedikit condong kearahku. Dia menununggu lanjutan dariku. Namun aku juga seorang gadis yang merasa terganggu dengan mata bulat penuh intensitas lelaki ini.
“Hanya saja aku yang malah berdalih dari segala nasib baik maupun buruk di hari-hari yang diberikan langit kepadaku.”
“Tidak adil!” Lui mundur dengan perasaan jengkel. “Kau tidak bersyukur dengan hari yang diberi. Itu sebabnya pula kau sering menangis. Lihat matamu itu,” tunjuk Lui untuk kantong mataku sudah seperti biji salak.
“Terlalu banyak menangisi hidup.”
Aku tidak berdalih untuk kenyataan satu ini. Bentuk kecil atas pengakuan dosaku. Dan aku tau kesempatan kedua kali ini, tidak akan sesempurna hari-hari cerah yang aku dambakan di hari lalu.
“Aku tau aku salah. Aku bersyukur kau bertanya. Ini juga sinyal dari langit untukku.”
“Jalan pertobatan itu luas, kalau memang belum waktunya kau tidak akan tersadarkan akan jalan-jalan itu. Jangan sia-siakan waktumu lagi. Kau masih muda, ibumu juga masih ada.”
“Ya, aku paham”
Akhirnya kami terdiam dalam sisa perjalanan.
Kereta berhenti di stasiun pinggir kota. Kami memang tinggal di satu daerah yang sama. Cukup nyaman dan hening tinggal di pinggiran kota seperti ini. Penduduknya hanya sekitar 270 jiwa. Lahir dan besar bersama disini membuat aku dan Lui sudah seperti sahabat sejak dalam kandungan. Kami saling memahami satu sama lain.
Melewati jalanan dekat hutan kecil menuju bukit belakang stasiun, Lui berhenti tepat di depan gapura kecil menuju dalam hutan. Jalan masuk yang sering membawa kami berdua ke pengasingan di atas bukit untuk menyelesaikan buku pinjaman dari perpustakaan.
“Ibuku memasak dendeng daging sore ini,” Lui menengok ke arahku sambil tersenyum. “Mampirlah, kita bisa mengobrol hingga petang nanti. Ibumu juga pasti senang kalau kau bawa beberapa potong daging pulang.”
Aku merasakan sedikit gelombang kasih menerpaku bersama angin sepoi sore. Aku mengangguk untuk mengiyakan ajakan Lui. Walau harus memperpanjang jadwalku dengan mendadak, entah mengapa aku merasa ringan dengan itu.
Aku memang berniat untuk segera pulang dan istirahat. Namun, bedanya jadi lebih ringan daripada hari-hariku kemarin yang keras terhadap segala rencanaku di awal hari. Aku menerimanya.
Sampai di rumah Lui, musik Blackbird dari The Beatles mengudara di atmosfer rumah. Aroma hangat dendeng daging masuk tanpa permisi ke lubang hidungku. Aku seketika merasa sangat lapar.
Ibu Lui menyambut kami dengan celemek yang masih terpasang dari pintu dapur. Aku tidak menyesali perubahan rencanaku ini. Selain mengisi perut bersama, aku dapat mengobrol santai dengan keluarga Lui. Entahlah ini memberi afeksi lain untuk diriku. Mungkin langit mencium aroma dendeng daging yang enak ini pula.
“Ini bawakan sedikit juga untuk ibu dan adikmu.”
Aku menerima sebuah kotak bekal yang dibungkus rapi dengan kain, tidak lain memanglah dendeng daging yang juga aku baru makan.
“Terimakasih, bu.”
Setelah berpamitan dengan Lui dan keluarganya aku pulang tanpa perasaan dongkol atau semacamnya. Benar-benar ringan aku melangkah. Suara jangkrik dan katak memulai konser di sepanjang jalan menemani perjalanan pulangku.
Aku memahami bahwa langit itu sebenarnya tidak ingin membuatku sempurna. Karena aku dibawahnya. Bukanlah bentuk kesombongannya untuk ini. Karena memang langit berada di atasku. Segala bentuk penerimaan seharusnya aku sadari sejak awal. Namun, nyatanya memang ini salah satu jatahku untuk gagal dan mengalami penebusan.
Komentar
Posting Komentar