Cerita Pendek - Kita Semua Pernah Pra Dewasa
Dini hari di tanggal cantik bulan ketiga. Aku berusaha keras meyakinkan diriku untuk bertahan menunggu satu bulan lagi sebelum hari kelulusan benar-benar tiba. Selayaknya meyakinkan diriku untuk memenuhi absensi bulan lalu. Aku merasa bosan harus berurusan dengan berbagai tugas sekolah atau sekedar duduk di dalam kelas mengerjakan puluhan soal ujian. Bahkan sudah bulat niatku tidak mengikuti tes perguruan tinggi tahun ini.
Mau apa aku di usia labil pra dewasa ini? Entahlah dengan pastinya bagaimana, aku sedang mencari seperti anak lainnya. Teringat suatu diskusi dengan organisasi sekolah, saat pembina kami bertanya untuk program kami selanjutnya. “Sebenarnya kalian ingin melakukan apa?”
Hei aku yang duduk tepat di depan pembina kami merasa terhakimi dengan pertanyaan yang sebenarnya tertuju secara general untuk forum diskusi tersebut. Memikirkan apa yang sebenarnya aku inginkan untuk diriku sendiri saja sudah membuatku linglung, apalagi memikirkan apa yang sebenarnya aku ingin berikan untuk organisasi yang tidak seutuhnya ada untukku selalu.
Dulu aku selalu merasa, aku berada dalam garis yang pasti. Ternyata privilege itu relatif. Aku membandingkan diriku dengan kawan-kawan yang berada di bawahku, mereka yang selalu mengeluh tidak memiliki tujuan masa depan. Aku mengidap kesombongan yang berbahaya disamping rasa syukurku kala itu.
Namun, Tuhan memang tahu apa yang lebih aku butuhkan daripada aku inginkan. Di beberapa waktu terakhir ini aku justru di beri kesempatan untuk menatap langit untuk mendapat perbandingan yang kontras. Aku belumlah secara pasti dalam garis pasti yang aku pikir sudah pasti tersebut. Aku di hujani kebimbangan yang nyatanya sudah di alami kawan-kawanku terlebih dahulu. Inilah saatku.
Masih dalam keheningan malam yang ditemani lembutnya alunan lagu french di telinga. Aliran lagu yang baru kali pertama aku mencobanya malam ini. Entahlah karena sepertinya menarik dicoba setelah mendapat referensi dari sebuah novel. Dan ini justru membuatku ingin mempelajari bahasa mereka.
Kembali dalam realita yang harus aku hadapi di depan mata. Aku harus menuntaskan nilai untuk rapor dan ijazahku sebelum benar-benar lulus dan terbebas dari bangku, buku paket tebal, kurva matematika, jam pelajaran yang ketat, guru yang kolot, dan lainnya.
Aku masih duduk termenung di meja belajarku. Di hadapan buku matematika peminatan yang harus aku kerjakan untuk mata pelajaran pagi hari ini. Namun di usia saat ini bukanlah masa untukku termenung berjam-jam di hadapan buku pelajaran dan merangkai ekspektasi dan harapan yang semu.
Ah ini begitu berat untuk usiaku. Ada banyak fantasi yang membentengi diriku untuk produktif menjalankan masa muda ini. Apa yang sebaiknya aku lakukan untuk memulai ini? Karena memang benar kata orang, yang sulit bukanlah tugas yang harus dipenuhi melainkan cara kita untuk memulainya. Aku terjebak dalam stigma ini.
Bahkan untuk mencari solusi dengan duduk bersama bapak atau ibu tidak menyelesaikan ini. Bukankah mereka juga pernah pra dewasa?
“Istirahatlah kalau capek, jangan memaksakan diri selalu. Berapa pun nilamu bapak dan ibu enggak mempermasalahkannya.” Nasehat bapak saat kami berdua menonton piala dunia bersama di ruang TV.
“Tapi asalkan kamu harus tetap masuk sekolah terus dan melanjutkan sekolah nantinya kelak. Buat bapak ibu bangga,” terus bapak yang sengaja dipotong tadi.
Setidaknya itu yang selalu bapak dan ibu katakan setiap aku mengeluh soal sekolahku. Hanya di bedakan kosakata dan logat bicara saja. Namun tujuannya sama. Dan aku merasa justru mengalami demotivasi yang semakin dalam. Masalah utama yang aku rasa ini sangat menyebalkan adalah karena nilaiku selama ini baik-baik saja dan tidak buruk sekali. Aku menjadi tidak tahu harus bereaksi bagaimana dengan situasiku saat ini.
Di sisa keheningan malam. Setelah melakukan berbagai refleksi diri—walau tidak sepenuhnya keluar dari lingkaran demotivasi. Aku tetap membuka buku pekerjaan dan memulai apa yang memang seharusnya aku mulai di usia ini. Karena setiap semua orang pasti pernah mengalami usia ini. Dan mereka menyelesaikan momen tersebut dengan macam-macam cara. Sedangkan aku?
Intinya aku tidak ingin mengulang masa pra dewasaku ini di usia lanjut nanti. Aku memilih untuk mengerjakan apa yang ada di depan mata terlebih dahulu saja. Walau dengan cara yang lambat, tapi setidaknya apa kepastian disitu. Yang tidak pasti itu, ya masa depan.
Komentar
Posting Komentar